Saat masih aktif di majalah kampus PURNAWARMAN tahun 1995 pernah meliput pidato Prof DR Emil Salim (mantan Menteri Lingkungan Hidup) yang bertajuk “Bumi Kita Kini dan Esok” di gedung Arthaloka Jakarta yang di dalam forum itu DR Fortuna Anwar turut hadir. Forum itu terselenggara atas kerjasama Harian Umum Republika dan Bank Muamalat Indonesia (BMI), kini berubah nama menjadi Bank Muamalat. Forum itu digagas atas keprihatinan dengan lapisan Ozon (O3) yang semakin menipis sehingga bumi menjadi panas dan rusaknya paru-paru dunia khususnya hutan Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa hutan Indonesia dimasukkan sebagai salah satu satu penyangga paru-paru dunia oleh PBB. PBB konsen dengan hutan Indonesia karena hutan Indonesia adalah hutan tropis yang luas dengan keanekaragaman flora dan fauna yang sangat beragam dan harus dilestarikan. Namun kini kondisi hutan Indonesia sangat memprihatinkan karena kerakusan manusia akan lahan dan kayu serta sumber daya hayati yang ada di dalamnya.
Akibat dari hutan yang rusak tentu ekosistem hayati menjadi tidak seimbang. Defisit air bersih, kehidupan fauna terganggu bahkan di daerah tertentu sudah mengancam pemukiman penduduk karena habitatnya dirusak manusia, kepunahan flora sehingga mengganggu tabungan air di perut bumi dan menghambat daur ulang gas beracun CO dan CO2. Yang pasti saat ini kita bisa menyaksikan bencana banjir dan tanah longsor yang banyak merenggut nyawa dan harta terjadi di mana-mana.
Kita juga sudah mengetahui bahwa menipisnya lapisan Ozon disebabkan oleh daya rusak Karbon Monoksida (CO) dan Karbon Dioksida (CO2) terhadap gas Ozon. Gas CO dan CO2 ada karena akibat dari pembakaran senyawa kimia. Proses ini bisa alamiah atau disengaja karena yang terpenting adalah menjaga keseimbangannya.
Sejak revolusi industry hingga kini berapa trilyun ton gas CO dan CO2 meracuni udara. Asap mesin-mesin pabrik dan jutaan kendaraan bermotor yang tiap hari tanpa henti mengeluarkan gas ini. Belum lagi diperparah dengan pembakaran dan kebakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali juga masalah kemacetan yang membakar dan membuang percuma bahan bakar yang tentu lebih masif memproduksi gas ini disamping kerugian waktu, tenaga, dan biaya.
Sebenarnya gerakan-gerakan kepedulian terhadap alam dan lingkungan sudah banyak dilakukan. Pembangunan yang berwawasan lingkungan juga sudah menjadi perhatian. Namun gerakan-gerakan itu nampaknya belum bisa membendung perusakan hutan dan lahan, dan menekan secara signifikan produksi gas CO dan CO2 agar tidak meracuni udara. Sebagai contoh yang hangat, kalau Premium kadar Timbalnya tinggi maka jangan dijual.
Sebagai bahan renungan, tepat apa yang dikatakan oleh Ebiet G Ade dalam syair lagunya,”…mungkin alam mulai bosan melihat tingkah kita yang bangga dengan dosa-dosa atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita …,”. Demikian pula, sejak 16 abad yang silam telah diingatkan agas manusia waspada: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar),” (Qs. Ar Ruum ayat 41).
Jadi sekarang kita sudah jelas bahwa bukan alam tidak mau bersahabat dan enggan dengan kita, akan tetapi kitalah yang tidak mau bersahabat dan enggan dengan mereka (alam).
Komentar
Posting Komentar