Kisah ini penulis dapatkan saat bertugas di daerah
dekat perbatasan dengan negara Malaysia. Berawal dari penulis berlangganan
makan sehari-hari di warungnya, yang disela-selanya Si Penjual bercerita
pengalaman hidupnya. Maklum saja, sesama perantauan di daerah yang oleh Menteri
Keuangan dinyatakan sulit sehingga jumlah cuti bagi pegawai dapat ditambah 12
(dua belas) hari. Lokasi tepatnya di Putussibau kabupaten Kapuas Hulu provinsi
Kalimantan Barat.
Sebut saja
Sri, nama Si Penjual Kikil. Sri berasal dari keluarga besar dengan mata
pencaharian dari jual beli daging sapi sehingga dia sangat memahami seluk beluk dagang daging
sapi dan telah menjadi rutinitas yang Sri jalani sejak kecil.
Kisah ini berawal dari saat Sri lulus SMP di sebuah
desa di Kabupaten Wonogiri tahun 1993. Tidak lama setelah lulus Sri menikah
dengan pemuda satu desa sambil melakoni sebagai penjula kikil sapi.
Walaupun Sri tidak mempunyai KTP tetapi pernikahan tetap bisa
berlangsung. Ini dibuktikan dengan akte nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA)
setempat yang Sri pegang.
Sepuluh tahun lebih dalam mengarungi bahtera rumah
tangga Sri merasa tidak mendapatkan kebahagian walaupun sudah mendapatkan dua
momongan. Menurut pengakuan Sri, sang suami kurang bertanggung jawab.
Selain sang suami bermalas-malasan dalam mencari
nafkah, bukti nyata bahwa sang suami kurang memperhatikan Sri adalah sampai
lebih dari sepuluh tahun Sri tidak dibuatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Sri
memastikan karena Kartu Keluarga (KK) memang tidak diurus oleh sang suami.
Dari rentetan peristiwa yang dialami itu
akhirnya Sri memutuskan untuk minta diceraikan namun sang suami bergeming.
Tentu dengan sikap mendua sang suami membuat Sri bingung. Dan ditengah
kebingungan terpikir oleh Sri untuk membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) sendiri
tanpa sepengetahuan suami.
Datanglah Sri di Kantor Desa menemui Pak Kades yang
masih paman sang suami. “Pak saya mau bikin KTP”, ucap Sri dengan
menyembunyikan maksud yang sesungguhnya. “Lho, KK-mu ikut siapa”, tanya Pak
Kades. “Ikut bapak mertua, Pak”, jawab Sri tanpa seijin atau memberitahukan
bapak mertua sebelumnya. Akhirnya KTP yang diinginkan Sri terwujud.
Tepat tahun 2003 Sri membulatkan tekat mengajukan
gugat cerai. Sri tidak mau repot ke sana kemari dalam mengurus perceraian
sehingga Sri menyewa pengacara dengan pertimbangan selain tidak mau repot juga
menghindari kecurigaan keluarga besar sang suami dan pekerjaan sebagai Penjual
Kikil yang sudah lama Sri lakoni tidak terbengkalai. Sri tidak mempersoalkan
dan menyebutkan berapa rupiah ia harus membayar pengacara karena yang terpikir
oleh Sri agar urusan perceraian cepat selesai.
Ternyata perhitungan Sri tidak berjalan sesuai
dengan direncanakan karena saat proses gugat cerai berjalan di Pengadilan Agama,
bapak mertua Sri mempermasalahkan KTP yang dibuat Sri tanpa seijinnya. Dalam
pikiran Sri mengakui salah namun tekad Sri tetap dalam pendirian semula yaitu
tetap menuntut cerai kepada sang suami melalui pengacaranya.
Pak Kades yang paman dari sang suami mengatakan
bahwa KTP tersebut akan ditarik kembali karena Sri dianggap berbohong soal
Kartu Keluarga. Sri pasrah terhadap keputusan Pak Kades. Namun perjuangan Sri
tidak pupus. Sri berkonsultasi dengan pengacaranya untuk mencari jalan keluar.
Setelah musyawarah Sri diberi tantangan pengacaranya,”Berani tidak menghadap
Pak Camat ? ”. “Berani”, jawab Sri.
Saat menghadap Pak Camat Sri mengungkapkan
uneg-unegnya dan minta solusi agar bisa membuat KTP kembali karena KTP yang
telah Sri buat ditarik Pak Kades. Selain itu, proses di pengadilan harus jelas
status warga negara dari pihak-pihak yang berperkara dan itu hanya bisa
dibuktikan dengan kepemilikan KTP.
Pak Camat bisa mengerti masalah yang sedang
dihadapi oleh Sri sehingga Pak Camat member ijin kepada Sri untuk membuat KTP
baru. Tentu hati Sri gembira mendengar hal ini, setidaknya Sri merasa
dapat “mengalahkan” Pak Kades. Sri juga beranggapan kalau kejadian ini
hanya cara keluarga besar sang suami dan Pak Kades yang masih paman sang suami
untuk menggagalkan tuntutan cerai yang Sri ajukan di Pengadilan Agama.
Setelah memegang KTP baru proses pengadilan
tuntutan cerai yang Sri ajukan dilanjutkan. Singkat cerita, Pengadilan Agama
memutuskan tuntutan cerai Sri dapat diterima. Apakah dengan dikabulkan tuntutan
cerai menjadi persoalan yang dihadapi Sri selesai ?. Ternyata tidak !.
Mereka mendapatkan dua momongan dari pernikahan dan
ini luput dari objek sengketa di Pengadilan Agama sehingga dipastikan kedua
bocah polos situ menjadi rebutan. Walaupun yurisprudensi tentang hak pengasuhan
anak sudah jelas namun Sri dan sang suami tetap kekeh pada pendirian
masing-masing yaitu ingin mengambil hak asuh.
Sri berpandangan kalau selama sepuluh lebih bersama
saja sang suami tidak bisa mengurus atau tidak bertanggung jawab terhadap
keluarga khususnya terhadap anak-anak, lantas apa yang akan terjadi pada
anak-anak nanti apabila diasuh sang suami tanpa keberadaan dirinya.
Singkat cerita, Sri berhasil meluluhkan keluarga
besar sang suami untuk merelakan anak-anak diasuh oleh Sri sendiri. Sebelum
pergi Sri juga mengingatkan sang suami,”Aku memang mantan isterimu tetapi tidak
ada mantan anak !”. “Sampai besar nanti kedua bocah itu adalah tetap anak-anak
mu !”, lanjut Sri.
Resiko dari perceraian rupanya telah terpikir oleh
Sri. Sri harus menanggung konskuensi keputusannya menuntut cerai dan mengambil
hak asuh anak. Menurut Sri, keputusan ini bagaikan buah simalakama. Tidak
bercerai merasa sudah tidak kuat lagi menghadapi sikap sang suami yang
tidak bertanggung jawab dan bermalas-malasan. Demikian pula kalau membiarkan
kedua anaknya diasuh oleh mantan suami.
Akhirnya setelah bercerai pada tahun 2003 Sri
bersama kedua anaknya yang masih kecil meninggalkan desa kelahirannya merantau
ke Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat menyusul ibunya
yang sudah lebih dulu merantau di kota itu. Sri mengatakan kalau nenek
dari anak-anaknya telah merantau di Putussibau sejak tahun 1999 dengan
berjualan jamu tradisional.
Hari-hari pertama di Putussibau Sri melakoninya
dengan membuka lapak (pedagang kaki lima) berjualan nasi dan minuman di
terminal Putussibau sambil momong kedua anaknya yang masih kecil. Kadang-kadang
dalam mengasuh dibantu sang nenek, namun karena kesibukan sebagai penjual jamu
tradisioanal sang nenek tidak bisa full day.
Hari-demi hari Sri jalani. Sri sedikit galau karena
dengan berjualan makanan di terminal belum menunjukkan hasil. Lebih-lebih
armada angkota dan angkudes yang mulai mengurangi jumlah operasinya. Kata
Sri,”Penumpang sepi karena angkota dan angkudes kalah bersaing dengan tukang
ojek dan banyak orang beralih menggunakan motor karena gampang ambil kredit
motor”. Imbas dari kondisi itulah jualan Sri di terminal menjadi sepi.
Sri memutar otak karena ia dengan kedua anaknya
harus makan dan tidak mungkin menjadi beban ibunya yang dengan hasil pas-pasan.
Di tengah berkecamuk pikirannya Sri teringat kehidupannya di masa yang lalu
bahwa ia besar dari keluarga penjual daging sapi dan biasa jualan kikil di
pasar tempat kelahiranya, Wonogiri. Akhirnya memutuskan untuk menggeluti usaha
yang selama ini Sri tinggalkan. Tidak hanya berjualan daging dan kikil sapi
tetapi melibatkan diri dalam bisnis sapi potong dengan sisa modal yang Sri bawa
dari kampung dan hasil jualan di terminal Putussibau.
Sri menuturkan bahwa jarak rumah kontrak dengan
pasar Putussibau lumayan jauh. Oplet (sebutan Sri untuk angkota/angkudes) ada
tetapi saat waktu ke pasar belum beroperasi. Sri mengatakan kalau berangkat ke
pasar paling lambat pukul 05.00 sehingga harus berjalan kaki. Walaupun hari hujan
Sri tetap berangkat ke pasar bersama kedua anaknya. Anak Sri ada dua, jadi
digendong depan dan belakang.
Dengan ketekunan dan keuletan usaha Sri mulai
membuahkan hasil. Kehidupan ekonomi mulai stabil. Sri bisa menyekolahkan kedua
anaknya. Yang paling besar perempuan dan sekarang sedang menempuh pendidikan
tinggi kesehatan di Surakarta. “Kok jauh-jauh sekolahnya Mbak,”tanya
Penulis. “Katanya biar deket sama sedulur di Wonogiri,” jawab Sri.
Sudah dua tahunan terakhir Sri tidak lagi
menggeluti jualan daging dan kikil sapi. “Sudah capek, Pak,” kata Sri. Saat ini
rutinitas yang Sri jalani adalah berjualan dengan membuka warung nasi di atas
tanah milik teman Sri. “Teman saya kembali ke Jawa, Pak,” kata Sri.
Di akhir-akhir obrolan Sri sempat mengulang lagi
kalau mantan suaminya tidak memperhatikan anaknya yang sedang kuliah di
Surakarta padahal jarak tidak seberapa dari Wonogiri. “Ndak mengharapkan duit,
tapi mbok ditengok,” kata Sri. Sri mengatakan kalau mantan suaminya memang
sudah menikah lagi.
Sebelum pamit dan membayar karena adzan Isya di
mushala depan warung sudah berkumandang Sri sempat menawarkan kepada
Penulis,”Pak, kulo (saya) ada dua rumah yang mau dijual, yang satu Rp 280 juta
dan yang kedua Rp 80 juta. Rencana kangge (untuk) beli tanah ini”. “Matur nuwun
Mbak, saya juga tidak menetap di Putussibau tapi coba nanti saya tanya
teman-teman,” jawab Penulis.
Sebelum meninggalkan warung Penulis juga berpesan,”Mbak, anak perempuan Mbak kalau menikah wali nikah tetap ayah kandung kecuali menguasakan,”. “Nopo purun mriki (apa mau kesini), Pak,” tanya Sri. “Pokoknya tetap diberitahu,” jawab Penulis. “Nggih (ya), Pak,” jawab Sri.
Sebelum meninggalkan warung Penulis juga berpesan,”Mbak, anak perempuan Mbak kalau menikah wali nikah tetap ayah kandung kecuali menguasakan,”. “Nopo purun mriki (apa mau kesini), Pak,” tanya Sri. “Pokoknya tetap diberitahu,” jawab Penulis. “Nggih (ya), Pak,” jawab Sri.
Komentar
Posting Komentar