Menang atau pun kalah dalam suatu pertandingan adalah hal yang biasa, demikian pula menang atau kalah bukanlah satu-satunya hal yang akan dikejar -to win or lose is not the only thing.
Bermain keras adalah suatu keniscayaan apabila ingin meraih sebagai pemenang, tetapi selalu bermain adil itu adalah tujuan -playing hard but always playing fair. Jika masih ingat, kedua potongan lirik lagu di atas adalah lirik lagu “To Be Number One” pada ajang kompetisi sepak bola dunia World Cup tahun 1990 di Italia yang saat itu Jerman yang menjadi juara dunia. Karena begitu bergengsi ajang World Cup sehingga banyak negara memperebutkan agar dapat menjadi tuan rumah penyelenggaraannya. Bahkan, kita mendengar ada sas sus ada negara yang "menyogok" FIFA agar dipilih menjadi tuan rumah.
Abdullah Summy (jurnalis Republika) pernah mengatakan bahwa sulit bagaimana beragumentasi soal nilai ideologis yang termuat dalam setiap tindakan boikot kepada lawan politik, sebab relasi yang terbangun adalah haters vs fanboy yang semua mirip perseteruan antara suporter kesebelasan sepak bola. Tapi sejauh apa pun fanboy dan haters berseteru di sepak bola, mesti ada titik tengah bernama legawa. Sebab pada akhirnya di setiap pertandingan ada yang menang dan kalah begitu wasit meniup peluit. Meski menang dan kalah dalam sepak bola kerap dibumbui sebuah kontroversi, itu adalah hal yang niscaya dan biasa-biasa saja.
Meski ini bernada-nada bola, saya bukan mau menelisik peristiwa tragis di dunia persebakbolaan tanah air yang terjadi tiga bulan yang lalu di Kanjuruan dengan korban 100 jiwa lebih melayang, hanya berharap kejadian itu untuk yang terakhir kali dan pihak-pihak yang bertanggung jawab mempertanggungjawabkannya.
Haters dan fanboy adalah fakta yang terjadi di dunia maya sebagai dampak lanjutan dari peristiwa politik bahkan ekses lanjutan juga terjadi pada peristiwa yang menyangkut urusan pribadi. Celakanya, haters dan fanboy juga berlanjut di alam nyata. Setidaknya, keluar dari group maya karena percakapan di dalamnya sudah mengutub ke arah haters dan fanboy.
Kadang-kadang saya berpikir, mereka mendapat keuntungan apa sampai mengutub ke arah haters dan fanboy dalam mensikapi dan mengekspresikan suatu peristiwa, khususnya peristiwa politik, bahkan sedikit-sedikit ditarik-tarik dan seolah menjadi urusan politik.
Politik bukanlah sesuatu yang jelek. Justru dengan politik setiap peristiwa yang terjadi dapat diambil hikmah dan dapat disikapi demi untuk mewujudkan kebaikan bersama. Lucunya, kita bukan siapa-siapa atau hanya selevel penonton namun tingkahnya seperti bodyguard bagi Si Fanboy dengan melakoni peran sebagai haters bahkan berprofesi sebagai buzzer. Jadi celaka duabelas, istilah saya.
Salah satu kiat agar tidak terjebak kedalam kutub haters dan fanboy seperti yang disampaikan Imam Abu Hamid Al Ghazali, hendaklah menghindari berdebat pada perkara khilafiyah (perkara yang di dalamnya terdapat ragam pandangan), mengandung bahaya dan keburukan. Karena hal itu berpotensi memunculkan sikap mencari-cari kelemahan lawan.
Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kalian mengintip dan memata-matai kelemahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? tentu kamu merasa jijik. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, maha penyayang" (Qs. 49:12/Al Hujurat ayat 12).
Komentar
Posting Komentar