Langsung ke konten utama

“Wong Pinter Kalah Karo Wong Bejo”

 

Alumni Tahun 1989 SMP Negeri I Cawas
    
“Wong pinter kalah karo wong bejo” (orang pandai kalah sama orang beruntung) itu idiom yang masih ada dan dipakai oleh sebagian orang untuk menilai keberhasilan seseorang. Kalau pinter dalam kontek prestasi akademik, yang berarti berkorelasi dengan level pendidikan seseorang yang dibandingkan dengan orang yang berkelimpahan materi sementara yang bersangkutan prestasi akademiknya biasa saja bahkan sempat tidak naik kelas/tingkat dan berujung drop out, maka labeling wong pinter kalah karo wong bejo boleh-boleh saja yang dijadikan tolok ukur.

Fenomena tersebut sesungguhnya telah banyak dikupas oleh para motivator. Mayoritas mereka sepakat bahwa  kecerdasan yang bisa membuat orang menjadi sukses tidak hanya karena Intelligence Quotient (IQ) tinggi yang ujudnya diukur dengan prestasi akademik. Selain IQ, juga ada Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosi/sosial dan yang ketiga adalah Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spritual. Masing-masing dari jenis kecedasan itu mempunyai peran tersendiri dalam menunjang kesuksesan atau keberhasilan seseorang.

Ada juga adagium, “Ada yang menganggap biaya pendidikan mahal, sesungguhnya ia belum mengetahui mahalnya biaya apabila tidak berpendidikan”. Pendidikan jangan disimplifikasi pendidikan formal. Ada pendidikan informal, non formal dan belajar mandiri (belajar dari siapa pun yang bermanfaat). Belajar sedari ayunan sampai dengan sebelum ajal menghampiri. Bahkan belajar bukan sedari buaian dan ayunan ibu, namun proses belajar sudah dimulai sejak di dalam rahim yaitu saat kita berwujud janin berumur 120 hari.

Mencari bea siswa, orang tua asuh dan donatur juga dapat menjadi alternatif jalan agar kita tetap belajar atau mengenyam pendidikan. Yang penting ada semangat dan kemauan kuat untuk belajar. Man jadda wa jada, barang siapa bersungguh-sungguh akan berhasil. Karena ada fakta, ada kesempatan dan biaya namun tidak mau menjalaninya. Mau menjalani, namun setengah-setengah alias tidak sungguh-sungguh.

Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman berlokasi di Desa Waru Jaya, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pernah memiliki santri berjumlah 23.000 santri putra maupun putri, kini dirasionalisasi menjadi 15.000 santri. Sistem pendidikan yang formal dari level TK sampai dengan level Sarjana (S1) semua dengan biaya gratis. Awal mula berdirinya karena krisis moneter pada tahun 1998 yang lalu. Syekh Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syekh Abi Bakar Bin Salim (sang pendiri)  prihatin melihat anak-anak banyak yang menjadi terlantar karena orang tua kesulitan ekonomi.

Dr. Hj. Umi Waheeda Binti H. Abdul Rahman, S.Psi., M. Si (semula warga negara Singapura) adalah murid beliau waktu belajar di Darul Ulum International School di Surabaya, yang di kemudian hari menjadi isteri Syekh Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syekh Abi Bakar Bin Salim, dan sepeninggal beliau, roda ponpes diteruskan sang isteri.

Umi Waheeda berusaha memperbaiki manajemen ponpes yang semula berbasis kepercayaan (social trust), lalu dikembangkan dengan sistem manajemen finansial dan manajemen sumber daya manusia (profesional trust). Fokusnya mengembangkan pondok pesantren dengan pendekatan socio entrepreneurship yang accountable, accessible, accurate dan transparant  dengan slogan “Free and quality education supported by social entrepreneurship”.

Bukan hayalan, ponpes kini sukses dan mampu mengelola 59 unit bisnis yang hasilnya untuk mendanai pendidikan gratis bagi 15.000 santri putra dan putri/level TK sampai dengan level Sarjana. Dan mayoritas pengelola 59 unit bisnis tersebut adalah alumni ponpes itu sendiri


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produksi Dulu atau Pasar Dulu

        Kamis,   25 Agustus selepas shalat Magrib lanjut pengajian tafsir Quran rutin setiap malam Jumat yang dilanjutkan shalat Isya’ di masjid Al Hikmah jalan Damar tepat di samping SMP Muhammadiyah Cilacap, saya meluncur ke hotel Sindoro Cilacap menjumpai kawan lama teman seangkatan   waktu sekolah di SMPN I Cawas kab Klaten. Kedatangan kawan lama saya itu dalam rangka membantu atau asistensi koleganya dalam perancangan pendirian pabrik sampai dengan pengoperasiannya untuk mengolah bijih plastik menjadi produk peralatan penunjang yang salah satu pengaplikasian produknya di dermaga. Banyak hal yang dibahas/disikusikan dalam obrolan kurang lebih dua setengah jam (20.40 s.d. 23.15) dengan kawan lama saya itu. Pokoknya sangat lengkap tema yang dibahas, poleksosbudhankam. Koleganya pun turut datang bergabung ngobrol di lobby hotel sambil minum jus jambu, kalau saya cukup air putih, sudah malam soalnya. Ada yang menarik dari pernyataan kawan lama saya: “Prod...

Carica

  Selasa, 28 Mei 20 24 sepulang cuti, seperti biasa melakoni masuk kerja setelah semalaman (12 jam) menyusuri jalan dari terminal Banjarnegara dan turun di RS Hermina Sukabumi (masih 5 km menuju lokasi tinggal). Tidak kelupaan membawa buah tangan minuman khas kabupaten Banjarnegara, Carica. Saya tidak akan membahas Carica, sebab di- gooling pasti bertebaran yang membahasnya. Mungkin sedikit saja, Carica adalah buah se- family dengan buah Pepaya namun ukurannya secara umum lebih kecil. Ia bagus tumbuh di dataran tinggi, sehingga masyarakat di kecamatan Batur kabupaten Banjarnegara banyak yang membudidayakannya, disamping sayur-mayuran, termasuk komoditas Kentang. Usai Carica dibagikan anak-anak SMK yang sedang PKL, ada satu rekan kerja yang mendekat kemeja saja. Yang bersangkutan (R) menyampaikan: “Terima kasih, ya Pak”. “Sama-sama”, saut Saya (S). Ternyata tidak sampai di situ, rupanya yang bersangkutan ingin remembering atau bernostalgia. Berikut cuplikan singkatnya: R  ...