“Wong
pinter kalah karo wong bejo” (orang pandai kalah sama orang beruntung) itu
idiom yang masih ada dan dipakai oleh sebagian orang untuk menilai keberhasilan
seseorang. Kalau pinter dalam kontek prestasi akademik, yang berarti berkorelasi
dengan level pendidikan seseorang yang dibandingkan dengan orang yang
berkelimpahan materi sementara yang bersangkutan prestasi akademiknya biasa
saja bahkan sempat tidak naik kelas/tingkat dan berujung drop out, maka labeling wong
pinter kalah karo wong bejo boleh-boleh saja yang dijadikan tolok ukur.
Fenomena
tersebut sesungguhnya telah banyak dikupas oleh para motivator. Mayoritas
mereka sepakat bahwa kecerdasan yang
bisa membuat orang menjadi sukses tidak hanya karena Intelligence Quotient (IQ) tinggi yang ujudnya diukur dengan prestasi akademik. Selain IQ, juga
ada Emotional Quotient (EQ) atau
kecerdasan emosi/sosial dan yang ketiga adalah Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spritual. Masing-masing
dari jenis kecedasan itu mempunyai peran tersendiri dalam menunjang kesuksesan
atau keberhasilan seseorang.
Ada juga adagium, “Ada yang menganggap biaya pendidikan mahal, sesungguhnya ia belum mengetahui mahalnya biaya apabila tidak berpendidikan”. Pendidikan jangan disimplifikasi pendidikan formal. Ada pendidikan informal, non formal dan belajar mandiri (belajar dari siapa pun yang bermanfaat). Belajar sedari ayunan sampai dengan sebelum ajal menghampiri. Bahkan belajar bukan sedari buaian dan ayunan ibu, namun proses belajar sudah dimulai sejak di dalam rahim yaitu saat kita berwujud janin berumur 120 hari.
Mencari bea siswa, orang tua asuh dan donatur juga dapat menjadi alternatif jalan agar kita tetap belajar atau mengenyam pendidikan. Yang penting ada semangat dan kemauan kuat untuk belajar. Man jadda wa jada, barang siapa bersungguh-sungguh akan berhasil. Karena ada fakta, ada kesempatan dan biaya namun tidak mau menjalaninya. Mau menjalani, namun setengah-setengah alias tidak sungguh-sungguh.
Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman berlokasi di Desa Waru Jaya, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pernah memiliki santri berjumlah 23.000 santri putra maupun putri, kini dirasionalisasi menjadi 15.000 santri. Sistem pendidikan yang formal dari level TK sampai dengan level Sarjana (S1) semua dengan biaya gratis. Awal mula berdirinya karena krisis moneter pada tahun 1998 yang lalu. Syekh Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syekh Abi Bakar Bin Salim (sang pendiri) prihatin melihat anak-anak banyak yang menjadi terlantar karena orang tua kesulitan ekonomi.
Dr. Hj. Umi Waheeda Binti H. Abdul Rahman,
S.Psi., M. Si (semula warga negara
Singapura) adalah murid beliau waktu belajar di Darul Ulum International School di Surabaya, yang di kemudian hari
menjadi isteri Syekh Habib
Saggaf Bin Mahdi Bin Syekh Abi Bakar Bin Salim, dan sepeninggal beliau, roda ponpes diteruskan
sang isteri.
Umi Waheeda berusaha memperbaiki
manajemen ponpes yang semula berbasis kepercayaan (social trust), lalu dikembangkan dengan sistem
manajemen finansial dan manajemen sumber daya manusia (profesional trust). Fokusnya mengembangkan pondok pesantren dengan pendekatan socio entrepreneurship yang accountable, accessible, accurate dan transparant dengan slogan “Free and quality education supported
by social entrepreneurship”.
Bukan hayalan, ponpes kini sukses dan mampu mengelola 59 unit bisnis yang hasilnya untuk mendanai pendidikan gratis bagi 15.000 santri putra dan putri/level TK sampai dengan
level Sarjana. Dan mayoritas pengelola 59 unit bisnis tersebut adalah alumni ponpes
itu sendiri
Komentar
Posting Komentar