“Apabila
engkau (Nabi Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu dan dalam
keadaan takut diserang), lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama mereka,
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) bersamamu dengan menyandang
senjatanya. Apabila mereka (yang salat bersamamu) telah sujud (menyempurnakan
satu rakaat), hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh).
Lalu, hendaklah datang golongan lain yang belum salat agar mereka salat
bersamamu dan hendaklah mereka bersiap siaga dengan menyandang senjatanya.
Orang-orang yang kufur ingin agar kamu lengah terhadap senjata dan harta
bendamu, lalu mereka menyerbumu secara tiba-tiba. Tidak ada dosa bagimu
meletakkan senjata jika kamu mendapat suatu kesusahan, baik karena hujan maupun
karena sakit dan bersiap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan
azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir”(Qs. An-Nisa’/4:102).
Asbabunnuzul ayat tersebut; Diriwayatkan oleh Ahmad, Al Hakim, dn Al Baihaqi dari Ibnu lyasy Az Zarqi, dia berkata bahwasanya suatu saat di sebuah peperangan di Asfan, kaum muslimin sedang mendirikan shalat Dhuhur bersama Rasulullah saw. Saat itu, pasukan musrik yang dipimpin Khalid bin Walid hendak menggunakan kesempatan itu untuk menyerang Rasulullah dan pasukannya yang berada di hadapan mereka. Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa waktu yang terbaik untuk menyerang kaum muslimin adalah ketika mereka melaksanakan Ashar yang sebentar lagi akan tiba karena mereka berpendapat bahwa kaum muslimin mencintai shalat Ashar melebihi cinta mereka terhadap nenek moyangnya. Dalam hal ini, tidak lama kemudian Jibril turun memberitahukan dan mengajarkan pelaksanaan ayat ini yang intinya cara mendirikan shalat ketika dalam peperangan. Imam At Tirmidzi meriwayatkan hal yang sama melalui jalan Abu Hurairah, begitu juga dengan Ibnu Abbas (Lubabun Nuqul: 70).
Tidak boleh menganggap enteng perkara shalat. Amalan shalat adalah perkara yang pertama kali akan ditimbang –diperhitungkan di hari Pembalasan. Dalam situasi perang yang dipastikan suasananya mencekam, diliputi ketakutan dan yang pasti nyawa menjadi taruhannya, namun untuk perkara shalat tetap diwajibkan bagi orang-orang yang di dadanya ada iman atau menyatakan diri beriman. Dalam situasi antara hidup dan mati, melalui perantara Jibril, Nabi dan pasukannya tetap diperintahkan mengerjakan ibadah shalat dengan tata cara tersebut, dan apabila tidak memungkinkan, dapat dikerjakan sedapatnya.
Komentar
Posting Komentar