Langsung ke konten utama

Kebersahajaan Ki Ageng Pemanahan

 

Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya (saat muda dikenal dengan nama Joko Tingkir) bersahabat karib dengan Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan. Atas jasa besar ke dua sahabat karibnya, Sultan Hadiwijaya memberi hadiah tanah pesisir (sekarang Pati dan sekitarnya) dan Alas Mentaok.  Ki Ageng Pemanahan orangnya bersifat manah sehingga mempersilakan sahabatnya yang lebih tua, Ki Ageng Penjawi untuk memilih hadiah sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir tersebut.

Tentu dapat dimaklumi atau manusiawi, Ki Ageng Penjawi akhirnya memilih tanah pesisir yang lebih ramai bahkan telah memiliki pelabuhan laut yang saat ini dikenal daerah Juwana pesisir pantai kab. Pati provinsi Jawa Tengah. Jadi tidak ada pilihan lain bagi Ki Ageng Pemanahan, karena pilihan tinggal satu wilayah yaitu Alas Mentaok alas gung liwang liwung (hutan lebat dan sepi).

Di luar dugaan Ki Ageng Pemanahan, ternyata sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir masih menahan wilayah Alas Mentaok, dengan alasan Alas Mentaok (hutan Mentaok) akan dibangun terlebih dahulu sehingga nantinya ramai. Itupun tidak ada penjelasan berapa lama akan dibangun.

Hari berganti minggu pun berganti bulan dan bulan pun telah berganti tahun. Ki Ageng Pemanahan akhirnya meninggalkan Pajang (hijrah) sambil terus memohon petunjuk kepada Allah swt. Tahun berganti tahun, akhirnya Sunan Kalijaga guru Ki Ageng Pemanahan mengunjunginya.

Waktu  sunan Kalijaga menanyakan tentang keadaannya, namun Ki Ageng Pemanahan tetap merahasiakan perasaannya. Sampailah sunan Kalijaga bersikap lebih tegas: ”Le, sakjane ono masalah opo awakmu lungo soko Pajang (Nak, sebenarnya ada apa kamu sampai pergi meninggalkan Pajang) !?. Akhirnya, Ki Ageng Pemanahan menceritakan hal ihwal di atas kepada gurunya, sunan Kalijaga.

Singkat cerita, Ki Ageng Pemanahan diajak sunan Kalijaga menghadap sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir. Setelah sunan Kalijaga menceritakan semua permasalahan Ki Ageng Pemanahan, sultan Hadiwijaya sempat mengelak. Atas sikap tersebut, sunan Kalijaga menegur sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir yang tidak kesatria karena telah berlalu 12 tahun dan selama itu pula tidak ada pembangunan apapun di Alas Mentaok.

Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir akhirnya menyesali tindakkannya selama ini. Pada saat itu juga Alas Mentaok diserahkan kepada Ki Ageng Pemanahan dengan syarat tetap setia kepada kesultanan Pajang sampai akhir hayat Ki Ageng Pemanahan.

Ending yang terinformasi di Babad Tanah Jowo, sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, di Alas Mentaok didirikan kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati (Danang Sutawijaya) putra Ki Ageng Pemanahan atas persetujuan Pangeran Benawa (putra sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir) dan kesultanan Pajang pun ikut bergabung ke  kerajaan Mataram Islam.

Satu pelajaran menarik dari peristiwa di atas adalah, urusan orang tua biarlah menjadi urusan orang tua dengan tetap menghormati para pendahulu yang telah meletakkan dasar-dasar tatanan kehidupan. Panembahan Senopati (Danang Sutawijaya) putra Ki Ageng Pemanahan tetap hidup rukun berdampingan dengan Pangeran Benawa (putra sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir) yang ditandai dengan memberi persetujuan pendirian kerajaan Mataram Islam. Bahkan Pangeran Benawa (putra sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir) selaku sultan Pajang ikut bergabung memperkuat kerajaan Mataram Islam.


Demikian pula dapat menjadi teladan atas kiprah dari sosok ulama sunan Kalijaga. Sebagai ulama tetap berdiri di tengah -menjadi wasit. Apabila ada pemain yang melanggar aturan sehingga merugikan pihak lain atau berpotensi merusak tatanan kehidupan, maka dia wajib bersikap kritis dan tegas. Tidak membela satu pihak, akan tetapi mendudukkan perkara agar selesai sesuai dengan kaidah atau norma yang semestinya. Dengan begitu, ulama tetap akan dihormati dan disegani serta menjadi tempat rujukan untuk menyelesaikan segala problematika dan permasalahan umat manusia.


**Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=m9XrwVb5eR4 (MANAHAN, PASOEPATI, dan SAMBERNYAWA), Salim A. Fillah


Foto hal 345, BISNIS NGGAK SE-ANJING ITU, KAWAN!, Mardigu Wowiek Prasantyo


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reuni Ketemu Kembali

Merindukan teman, sahabat dan saudara adalah hal wajar dan manusiawi, lebih-lebih telah sekian lama dan mungkin berpuluh tahun. Demi untuk mewujudkan impian untuk bertemu teman -kopi darat- beragam acara dan kegiatan pun dibuat dan dikemas. Bahkan untuk mem- follow up -nya dibentuklah bermacam-macam kelompok, group , komunitas ataupun entitas dan satu diantaranya adalah reuni. Saat ada kabar akan ada reuni seangkatan waktu sekolah, ada sobat yang mengungkapkan pandangannya  melalui sebuah tulisan opini. Singkat kata, menurutnya reuni dengan latar belakang apapun ada manfaat positif maupun dapat menimbulkan dampak negatif. Jadi sobat itu mengakhiri tulisan dengan kalimat “Berangkat tidak, berangkat tidak...”. Nampaknya sobat itu tidak berangkat menghandiri reuni dan itu kata orang-orang zaman now “no problemo” atau “basing-basing bae” kata wong Palembang. Di dalam reuni dipastikan semua kenangan pada masa yang silam akan muncul saat itu. Bahkan mulai dari rencana reuni digulirkan

Umrah Haji Hanya Buang-buang Duit !?

  Pernah ada nada sumbang yang mengatakan kalau umrah dan haji hanya buang-buang uang dan hanya menguntungkan kerajaan Arab Saudi saja. Apabila disebut hanya buang-buang uang, lantas yang plesiran wisata ke benua Eropa, Afrika, Amerika, Australia dan Asia apa juga mau dibilang hanya buang-buang uang. Demikian pula, dikatakan hanya menguntungkan kerajaan Arab Saudi saja, apa yang plesiran wisata ke negara-negara selain Arab Saudi apa juga mau disebut hanya menguntungkan negara itu saja ( red: https://majumelangkah.blogspot.com/2019/11/propaganda-perang-kata-kata.html ).  Terus belum lama, ada media nasional yang konten beritanya mem- framing peristiwa kematian sekeluarga di sebuah komplek perumahan Jakarta Barat disandingkan dengan kesolehan sosial haji, padahal juga bukan sedang musim haji. Toh kalau pun sedang musim haji, apa juga pantas dan membolehkan membuat framing negatif peristiwa tersebut dengan soal haji.  Siapapun penulisnya atau kontributornya, dewan redaksi khususnya pimp

TANDA TANDA KEMATIAN

Adapun tanda-tanda kematian menurut ulama adalah benar dan nyata, hanya amalan dan ketaqwaan kita saja yang akan dapat membedakan kepekaan kita kepada tanda-tanda ini. Rasulullah SAW diriwayatkan masih mampu memperlihat dan menceritakan kepada keluarga dan sahabat secara lansung akan kesukaran menghadapi sakaratulmaut dari awal hingga akhir hayat.  Imam Ghazali rahimahullah diriwayatkan memperolehi tanda-tanda ini sehingga beliau mampu menyediakan dirinya untuk menghadapi sakaratulmaut secara sendirian. Beliau menyediakan dirinya dengan segala persiapan termasuk mandinya, wuduknya serta kafannya sekali, hanya ketika sampai bahagian tubuh dan kepala saja beliau telah memanggil abangnya yaitu Imam Ahmad Ibnu Hambal untuk menyambung tugas tersebut. Beliau wafat ketika Imam Ahmad bersedia untuk mengkafankan bahagian mukanya. Adapun riwayat -riwayat ini memperlihatkan kepada kita sesungguhnya Allah SWT tidak pernah berlaku zalim kepada hambanya. Tanda-tanda yang diberikan adalah untuk menja