Langsung ke konten utama

Peluang Perdana Membantu Teman

Tahun 1993-1994 atau setahun pernah mencicipi kampus UGM fakultas MIPA, yang pada waktu itu orang-orang biasa menyebutnya Kampus Rakyat. Sudah menjadi adat kebiasaan mahasiswa baru harus melewati periode Orientasi Pengenalan Kampus (OSPEK), bahkan ada yang menganggap sebagai “perploncoan ajang balas dendam” senior kepada yunior.

Memang saya belum pernah bertatap muka langsung, tetapi saya ingat betul pada waktu itu (Juli 1993) Bung Anies Baswedan (Ketua Badan Ekskutif Mahasiwa atau BEM periode saat itu yang saat ini sebagai nahkoda ibu kota RI, Gubernur DKI Jakarta) berboncengan naik sepeda motor buntut (motor tua) dengan Ketua Senat Mahasiswa lewat di samping saya lalu berhenti di dekat gedung Rektorat UGM, kurang lebih 75 meter dari tempat saya berdiri mengikuti ospek.

   Seperti biasa waktu pelaksanaan ospek ada-ada saja yang diminta oleh senior yang harus dibawa atau dipakai selama mengikuti ospek. Salah satu yang harus dipakai selama mengikuti ospek adalah tas putih polos yang terbuat dari karung Gandum dengan pengikat untuk pegangan dari sumbu kompor. 

Membuat tas putih polos dari karung Gandum nampaknya sepele, namun melihat pesertanya kebanyakan adalah pendatang dari luar daerah Yogyakarta dan batas waktu menuju hari pelaksanaan ospek yang mepet (tiga hari) tentu kebingungan mencari kelengkapan bahan-bahan untuk membuatnya.

Pada waktu itu timbul inisiatif saya untuk membantu teman-teman membuatkan tas putih polos dari karung Gandum atau tepung terigu. Ya, mungkin  dalam kontek bahasa kewirausahaan  memberanikan diri mengambil peluang usaha edisi perdana. Karena kata orang, peluang atau kesempatan yang sama tidak akan menghampiri kita untuk kali kedua.

Saat masih duduk di bangku SMP di kecamatan Cawas Kabupaten Klaten saya biaya membantu belanja barang-barang kebutuhan sehari untuk dijual kembali oleh mendiang mbah putri dari ibu, termasuk tepung Gandum. Nah, took-toko itulah yang saya datangi untuk mencari bahan karung tepung Gandum dan alhamdulillah mencukupi kurang lebih 100 buah. Selanjutnya, dibantu tetangga di desa Gombang kecamatan Cawas Kabupaten Klaten ujung karung dijahit melingkar berlubang untuk diletakkan tali sumbu kompor.

Biaya modal karung Gandum, tali sumbu kompor, ongkos jahit dan transportasi kurang lebih Rp 600 per unit tas dan teman-teman mengganti jasanya Rp 1.500 per unit tas sehingga keuntungan kurang lebih Rp 90.000. Perlu saya informasikan kepada pembaca yang baik hati, harga emas pada waktu itu  Rp 80.000-an. Jadi kalau dinilai dengan harga emas sekarang (http://majumelangkah.blogspot.com/2018/04/bretton-woods-agreement.html) nilai keuntungan tersebut sebesar Rp 900.000-an dari mengambil peluang usaha edisi perdana dari barang yang dibuat dari bahan-bahan yang nampak sepele seperti; karung Gandum (tepung terigu) bekas dan sumbu kompor. Alhamdulillah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Cordoba Saksi Kejayaan dan Kemunduran Islam

  Di atas kubah masjid ada lambang bulan sabit dan bintang, itu adalah lambang kejayaan dan dalam sejarah Islam sehingga masjid memegang peranan penting untuk kemajuan peradaban. Masjid yang pertama kali di bangun nabi Muhammad Saw adalah masjid Quba, kemudian masjid Nabawi. Masjid ini selain sebagai tempat beribadah, juga difungsikan sebagai tempat menuntut ilmu, bermusyawarah dan mengatur strategi perang. Seiring dengan berjalannya waktu, fungsi masjid semakin sangat sentral. Di dalam kompleks masjid di bangun sekolah, perpustakaan, laboratorium, dan observatorium. Masjid menjadi tempat yang paling banyak dikunjungi orang daripada tempat lainnya. Orang pergi ke masjid tidak hanya berniat beribadah di dalamnya, tetapi juga menuntut ilmu dan berdiskusi.  “Di era kejayaan Islam, masjid tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, namun juga sebagai pusat kegiatan intelektualitas,” ungkap J. Pedersen dalam bukunya berjudul  Arabic Book. Senada dengan J. Pedersen,  s...

Produksi Dulu atau Pasar Dulu

        Kamis,   25 Agustus selepas shalat Magrib lanjut pengajian tafsir Quran rutin setiap malam Jumat yang dilanjutkan shalat Isya’ di masjid Al Hikmah jalan Damar tepat di samping SMP Muhammadiyah Cilacap, saya meluncur ke hotel Sindoro Cilacap menjumpai kawan lama teman seangkatan   waktu sekolah di SMPN I Cawas kab Klaten. Kedatangan kawan lama saya itu dalam rangka membantu atau asistensi koleganya dalam perancangan pendirian pabrik sampai dengan pengoperasiannya untuk mengolah bijih plastik menjadi produk peralatan penunjang yang salah satu pengaplikasian produknya di dermaga. Banyak hal yang dibahas/disikusikan dalam obrolan kurang lebih dua setengah jam (20.40 s.d. 23.15) dengan kawan lama saya itu. Pokoknya sangat lengkap tema yang dibahas, poleksosbudhankam. Koleganya pun turut datang bergabung ngobrol di lobby hotel sambil minum jus jambu, kalau saya cukup air putih, sudah malam soalnya. Ada yang menarik dari pernyataan kawan lama saya: “Prod...

Perempatan Monjali

  Waktu sama-sama menunggu lampu tanda Hijau, tepat di depan mobil saya ada mobil Wuling warna putih yang di kaca belakangnya ditempel stiker “Marilah Sholat” sehingga muncul ide mengambil foto. Lokasi antrian kendaraan yang sedang menunggu tanda Hijau lampu lalin adalah di perempatan Monjali atau Monumen Jogja Kembali. Bagi yang tidak asing dengan perempatan itu, akan langsung tahu kalau titik lampu merah di jalan Ringroad Utara Yogyakarta atau kurang lebih 1,5 km sebelum terminal Jombor dari arah timur. Yogyakarta memang mempunyai kekhususan wilayah sehingga disebut daerah istimewa. Bergabungnya dengan NKRI pun berdasarkan Maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono IX di tahun 1951 sehingga sebelumnya merupakan wilayah kerajaan yang berdaulat –cikal bakalnya kerajaan Mataram Islam Panembahan Senopati (Danang Sutawijaya) putra Ki Ageng Pemanahan atas persetujuan Pangeran Benawa (putra sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir) https://majumelangkah.blogspot.com/2023/08/kebersahajaan-ki-ageng...