Langsung ke konten utama

MENUMPUK DI AKHIR TAHUN

Layaknya sebuah ritual, menjelang akhir tahun pada triwulan  ke-4 sebagian besar instansi pemerintah selalu sibuk dengan urusan menghabiskan anggarannya. Pun sudah terlalu banyak kritikan, ulasan, pembahasan dan penelitian dari para pakar yang menyoal, mengapa penyerapan anggaran negara selalu menumpuk pada triwulan ke-4 ?. Sebagai indikasi penumpukkan tagihan kepada negara pada wilayah bayar KPPN Putussibau, realisasi belanja modal triwulan III baru mencapai 32.2% dan pada  triwulan IV melonjak menjadi 95.9%. Berbagai peraturan dan langkah-langkah antisipasi pun telah dibuat untuk meminimalisasi hal itu, namun sampai saat tahun anggaran yang lalu (2017) masih menjadi ‘ritual tahunan’.

     Sudah seyognya pelaksanaan pekerjaan telah mulai dilaksanakan sejak triwulan ke-1. Tetapi pelaksanaan sebagian besar sebaliknya, justru pada triwulan ke- 3 (September-Oktober) semakin banyak yang baru melaksanaka tanda tangan kontrak sehingga pekerjaan fisik baru dapat dimulai. Bahkan, pada triwulan masih ada yang melakukan tanda tangan kontrak.

Mungkin belum menjadi kesadaran kolektif, bahwa pada umumnya musim di Indonesia pada triwulan ke-4 adalah musim penghujan yang sangat potensial menghambat penyelesaian pekerjaan fisik berikut pengaruh terhadap kualitasnya ?. Para pakar pun telah banyak yang mengkritisi bahwa multi player effect terhadap pertumbuhan dan sumber daya ekonomi sungguh tidak maksimal dengan kondisi pelaksanaan seperti itu.

Sebenarnya kondisi itu dapat dikatakan bagaikan buah simalakama. Jika tidak dilaksanakan -dengan waktu terbatas- maka penanggung jawab pekerjaan pasti akan dicatat berkinerja buruk . Dan bagi rekanan pelaksana pun dalam posisi sulit, kalau pekerjaan itu tidak diambil berarti menyia-nyiakan peluang atau kesempatan, namun pada sisi lain harus berhadapan dengan realitas musim yang sangat mungkin dapat menghambat proses penyelesaian pekerjaan sehingga kualitas hasil pekerjaan menjadi taruhannya.

Pendapat penulis, aparatur pemerintahlah yang menjadi penanggung jawab utama atas hal tersebut yang tanggung jawab utama ada pada pimpinan satuan kerja yang bertindak sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang dibantu oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.

Selain PA dan KPA yang berfungsi sebagai “pengawas dan manajer”, pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan tugas PPK di dalam mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan adalah Unit Layanan Pengadaan (ULP). ULP adalah unit kerja diluar kendali PPK sehingga lama waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan lelang/tender pekerjaan sampai dapat ditentukan pemenangnya juga ikut menentukan, kapan pekerjaan akan segera dimulai ?.

Untuk percepatan, sebenarnya di dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga telah mengatur bahwa proses pengadaan/pelelangan sudah dapat dilakukan sebelum tahun anggaran dimulai setelah rencana kerja dan anggaran disetujui oleh DPR dan penandatanganan perjanjiannya setelah DIPA (dokumen otorisasi sebagai dasar pengeluaran negara) disahkan dan berlaku efektif.

Selain itu, beberapa waktu yang lalu di Istana Presiden Bogor presiden juga telah menginstruksikan untuk percepatan penyerapan anggaran. Dalam instruksi itu presiden juga memberikan arahan kepada penegak hukum agar tidak melakukan tindakan hukum selama masih dalam proses pengadaan/pelelangan sampai dengan pekerjaan diselesaikan meskipun ada pengaduan dugaan penyimpangan. Apakah dibiarkan?. Tidak. Tetapi nanti menunggu waktu yang tepat (misalnya: menunggu pekerjaan selesai) dan waktu melaksanakan penegakkan hukum agar dengan cara yang tidak menimbulkan suasana gaduh. Ternyata instruksi itu belum mempan.

Memang, kurang lebih  lima tahun yang lalu para Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang lalu pernah dihinggapi rasa takut akan dikriminalisasikan karena keputusan/tindakannya. Bahkan banyak yang menolak ketika ditunjuk untuk menjadi PPK. Tentu hal ini menjadi faktor penghambat dalam mengeksekusi penyerapan anggaran khususnya proyek dan bantuan sosial. Satu hal, ini tidak boleh terjadi lagi.

Sebagai catatan, jika ‘ritual’ ini terus berlangsung dan tanpa dicarikan solusinya maka ‘ritual’ itu akan tetap berlangsung pada setiap akhir tahun. Alasan kalau kas negara baru mulai terisi pada pertengahan tahun tentu tidak dapat dijadikan argumen/alasan pembenar untuk membiarkan ‘ritual’ itu tetap berlangsung. Justru yang banyak terjadi, sebagian besar mengatakan proses penunjukkan Pejabat Perbendaharaan di antaranya KPA dan PPK dan proses pelaksanaan lelang/tender yang memakan waktu lama. Tetapi tidak ada satu pun KPA/PPK yang mengatakan: “Maaf saya terlambat menindaklanjutinya”.

Purbaya Yudha Sadewa (Staf Khusus Menteri Koordinator Kemaritiman) saat dalam menjabat Deputi Kantor Staf Kepresidenan dalam sebuah talk show di Bloomberg TV pernah mengatakan,”Penyerapan anggaran (APBN) pada triwulan pertama sangat rendah”. “Justru penyerapan didominasi Belanja Pegawai yang kurang memberi impact kepada pertumbuhan ekonomi”. Idealnya penyerapan anggaran rata-rata 8,3 % per bulan atau 24,5 % dalam triwulan I. Namun seperti yang dikatakan dikatakan Pak Purbaya, sangat rendah karena kurang dari 15%. Apa yang dikatakan Pak Purbaya tidak dapat dilepaskan dari budaya ritual akhir tahun di atas. 

Peyebab Penumpukkan Tagihan

Penyebab pertama adalah kelemahan di bidang perencanaan kegiatan, diantaranya: satuan kerja kurang siap dalam menyusun rencana anggaran, usulan kegiatan belum lengkap sehingga alokasi anggaran diblokir, adanya pemindahan lokasi kegiatan sehingga harus dilakukan revisi, dan reorganisasi dan likuidasi di beberapa kementerian/lembaga sehingga membutuhkan penyesuaian Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

Penyebab kedua adalah kelemahan pada pelaksanaan kegiatan, diantaranya meliputi penunjukan Pejabat Perbendaharaan yang terlambat, dokumen pendukung tagihan belum lengkap sehingga belum dapat dilaksanakan pencairan anggaran, pengadaan barang/jasa sudah dilaksanakan namun pengajuan pembayaran per termin belum dilaksanakan, proses verifikasi dan penetapan penerima bantuan memerlukan waktu yang cukup lama untuk  pos Belanja Bantuan Sosial dan Bantuan Pemerintah, alokasi anggaran untuk pengadaan misalnya tanah/lahan, tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan dan proses ini membutuhkan waktu lama dan ijin multiyears contract banyak yang belum turun karena kementerian/lembaga belum dapat melengkapi dokumen pendukung yang dipersyaratkan dan pengajuan register hibah yang ditunda-tunda.

Penyebab ketiga adalah kelemahan di bidang Pengadaan (procurement). Adanya kehati-hatian dalam melaksanakan proses pengadaan dan pelaksanaan lelang yang terlambat, transisi regulasi pengadaan dari Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 ke Peraturan Presiden RI nomor 54 Tahun 2010 ke Perpres No. 70 tahun 2012 ke terakhir Perpres No. 4 tahun 2015 (terakhir No. 16 tahun 2018) , satker mengalami kesulitan dalam menyusun dokumen pelelangan dan kekurangan petugas yang memiliki sertifikat keahlian dalam pengadaan barang dan jasa ikut memperlambat proses pelaksanaan anggaran “budaya ritual akhir tahun”.

DPR telah menyetujui RAPBN tahun anggaran 2018 pada tanggal 23 Oktober 2017 yang lalu. Artinya, pekerjaan di 2018 yang dalam pelaksanaan memerlukan pelelangan sudah dapat dimulai prosesnya pada bulan November 2017, sehingga tidak ada alasan untuk menundanya agar tidak menumpuk di akhir tahun ini.

Sungguh prestasi besar bagi siapapun yang sanggup mengubah budaya ‘ritual’ tahunan itu sehingga penyerapan anggaran dapat terdistribusi normal dari triwulan ke-1 sampai dengan triwulan ke-4, atau paling tidak dari triwulan ke-2 sampai dengan triwulan ke-4. Pun seperti sering diulas oleh para pakar, agar pola pengeluaran anggaran negara dapat mempunyai effect stimulant terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih proporsional. Tidak kalah penting, hal itu untuk menghindari kejar tayang dalam proses penyelesaian pekerjaan yang tentu hasilnya sudah dapat diperkirakan (red: tidak maksimal).

 APBN maupun APBD yang sehat khususnya dalam penyerapannya dapat menciptakan stimulus pertumbuhan ekonomi atau multy player effect dalam skala nasional maupun daerah. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan harus bahu-membahu untuk mempercepat penyerapan anggaran khususnya Belanja Modal, Belanja Sosial Belanja Barang Untuk Diserahkan Kepada Pemda/Masyarakat yang menghasilkan out put dan out come yang jelas dan terukur sehingga dapat langsung memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi.

Disclaimer: isi tulisan adalah pendapat pribadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Itu Belum Berakhir

  Salah satu untuk mengalihkan perhatian terhadap peradaban Islam adalah perang Salib. Dalam sejarahnya, perang Salib pernah terjadi di antara sesama mereka dan juga menyasar kaum Yahudi. Kejadian Perang Salib Kataris pernah dijadikan legitimasi atas pembantaian di antara sesama Kristen, bahkan dalam perkembangannya berakhir menjadi kepentingan politik. Perang konvensional adalah menumpahkan darah sesama makhluk ciptaan Tuhan. Tidak hanya kepada makhluk yang bernama manusia, makhluk yang pun bisa kena imbasnya. Perang adalah pilihan jalan terakhir, apabila semua jalan menempuh damai sudah buntu. Ada adab-adab dan prasyarat perang dalam Islam, yaitu: Dilarang membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua. Kecuali mereka dengan bukti yang jelas melindungi pasukan lawan dan melakukan perlawanan dan dilarang dibunuh jika sudah menyerah, termasukan pasukan yang telah menyerah. Dilarang membunuh hewan, merusak tanaman dan merusak habitatnya. D ilarang merusak fasilitas umum dan tempat ibadah da

“Wong Pinter Kalah Karo Wong Bejo”

       “Wong pinter kalah karo wong bejo” (orang pandai kalah sama orang beruntung) itu idiom yang masih ada dan dipakai oleh sebagian orang untuk menilai keberhasilan seseorang. Kalau pinter dalam kontek prestasi akademik, yang berarti berkorelasi dengan level pendidikan seseorang yang dibandingkan dengan orang yang berkelimpahan materi sementara yang bersangkutan prestasi akademiknya biasa saja bahkan sempat tidak naik kelas/tingkat dan berujung drop out, maka labeling wong pinter kalah karo wong bejo boleh-boleh saja yang dijadikan tolok ukur. Fenomena tersebut sesungguhnya telah banyak dikupas oleh para motivator. Mayoritas mereka sepakat bahwa  kecerdasan yang bisa membuat orang menjadi sukses tidak hanya karena I ntelligence Q uotient (IQ) tinggi yang ujudnya diukur dengan prestasi akademik. Selain IQ, juga ada Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosi/sosial dan yang ketiga adalah Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spritual. Masing-masing dari jenis kecedasan itu memp

20 Meter Tidak Lebih Jauh dari 20 Km

  “Setiap hari sanggup menempuh jarak 20 km, bahkan 60 km lebih, namun masjid yang hanya berjarak 20 m tidak sanggup mendatangi setiap waktu panggilan shalat berkumandang…”.   Ungkapan tersebut disampaikan H . Tatto Suwarto Pamuji (69 Tahun - mantan Bupati Cilacap  empat tahun dan dua periode jabatan)  mengawali ceramah Subuh, Jumat 22 Maret 2024 di masjid Al Firdaus yang berdekatan dengan Polsek kecamatan Cilacap Utara sisi Selatan lapangan Krida kelurahan Gumilir. Hal tersebut disampaikan kepada para jamaah mengingat shalat wajib berjamaah dan dilaksanakan di masjid khususnya bagi kaum Adam (laki-laki) serta tepat di awal waktu adalah amalan yang sangat utama. Lebih jauh juga dijelaskan, kesuksesan seseorang sangat berkaitan dengan kualitas yang bersangkutan di dalam mengerjakan ibadah shalat. Apabila ibadah shalat dilaksanakan secara berkualitas dengan tidak asal  menggugurkan kewajiban sebagai seorang muslim, maka kesuksesan dalam kehidupan akan selalu bersamanya. Sehingga segera t