Langsung ke konten utama

600 Kilometer Bersama Bang Ferry

Pernah merasakan selama 3 tahun 8 bulan melaksanakan tugas di Putussibau, sebuah kota kecil yang berada di dalam wilayah Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, yang sekaligus sebagai jantung kotanya.  Kabupaten Kapuas Hulu mempunyai batas wilayah dengan negara tetangga jiran, Malaysia dengan titik Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di kecamatan Badau, yang masyarakat lazim disebut PLBN Nanga Badau.
Selama kurun waktu itu sebagian besar perjalanan saya dari Pontianak ke Putussibau menggunakan taksi (travel) dengan waktu tempuh lancar 11 s.d. 13 jam. Kalau bisa ditempuh kurang dari 11 jam, dipastikan si sopir super ngebut dengan mengingat jarak tempuhnya lebih kurang 600 km.
Meski lebih dari dua puluh kali perjalanan pulang dan pergi dengan travel, baru kali ini ketemu dengan Bang Ferry. Bang Ferry sudah cukup berumur, lebih kurang 50 th. Raut mukanya  nampak sangar, tinggi besar (sisa badan kekar masih nampak), rambut sedikit memutih dan kepala cenderung plontos atau gundul. Sebenarnya Bang Ferry adalah boss (pemilik) travel, tetapi karena ada kepentingan di Putussibau maka dia sendiri yang menjadi sopir.
Perjalanan darat dari Pontianak ke Putussibau yang berjarak ditempuhnya dalam waktu 12 jam tanpa second driver dengan mobil Innova bersama tiga penumpang yang lain. Kami berangkat dari Pontianak malam hari pukul 19.00 WIB dan sampai Putussibau pukul 07.00 WIB. Perjalanan malam itu selain membawa penumpang, Bang Ferry juga mendapat pesanan mengantar barang cukup banyak sehingga kursi bagian belakang mobil dilipat untuk menempatkan barang.
Saju jam perjalanan dari Pontianak, ban depan mobil bagian kanan tertusuk dop ban sepeda motor yang masih terdapat pada karet bannya lebih kurang berukuran 25 x 2 cm sehingga waktu tertusuk langsung ketahuan dari suara karet ban motor yang berputar beradu dengan slebor ban mobil dan jalan aspal. Alhamdulillah dalam jarak 200 meter dari tempat kejadian ada tambal ban. Dari momen kejadian ini bincang-bincang dengan Bang Ferriy semakin lebih lancar. Sebelumnya hanya sepatah dua patah kata semacam say hello karena Bang Ferry cenderung diam.
Sebelum menekuni usaha travel, Bang Ferry pernah bekerja pada sebuah PMA di Banjarmasin dan pernah mengkoordinir anak buah 1.500 oang. Sekian lama kerja, katanya jenuh di perusahaan tersebut (tanpa menjelaskan penyebab kejenuhannya), saya pun tidak menanyakan lebih lanjut alasannya.
Selepas keluar bekerja dari PMA,  Bang Ferry pernah menekuni usaha penggergajian kayu dengan modal Rp 60 juta untuk membeli peralatan mesin pemotong kayu. Sudah menjadi takdir usaha penggergajian kayu bukan jalan rezekinya.  Peralatan mesin pemotong kayu pernah dipindah ke berbagai lokasi yang cocok (strategis) namun selalu gagal. Akhirnya peralatan mesin pemotong kayu dijual dan dibeli rekan bisnisnya Rp 15 juta. “Dari pada mesinnya dijual kiloan,” tegas Bang Ferry.
Sejak awal saya minta kepada Bang Ferry agar bisa sampai di Putussibau paling lambat pukul 07.00 supaya tidak terlambat masuk kerja. Setelah tiga kali menurunkan barang bawaan di lokasi yang berbeda, kurang lebih 10 km sebelum sampai tujuan Bang Ferry menurunkan dua orang penumpang di sebuah kafe.
Setelah penumpang turun Bang Ferry masuk ke dalam kafe dan duduk santai. Karena  waktu sudah menunjukkan pukul  06.40 WIB, saya ikut pun turun masuk ke kafe dan bertanya: “Masih lama Bang ?”. “Tidak, nunggu uangnya”, jawabnya. Lebih kurang 7 menit menunggu lalu kami melanjutkan perjalanan dan sisa terakhir perjalanan kami memperbincangkan “dunia kafe”. Di kafe itu masih tergeletak dua botol bir merk “B*****G”, gelas dan termos es di atas meja.
Bang Ferry menceritakan pernah mengantar teman-temannya minum-minum menghabiskan Rp 2 juta, dan dia hanya memesan dua botol larutan penyegar. Saya pun berkomentar, ”Padahal itu cuma jadi kencing dan penyakit”. “Mereka bukannya tidak tahu, hanya pingin happy-happy”, timpal Bang Ferry.
Alhamdulillah tepat pukul 07.00 WIB saya menaruh lima jari di mesin kehadiran Handkey, tidak terlambat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Wong Pinter Kalah Karo Wong Bejo”

       “Wong pinter kalah karo wong bejo” (orang pandai kalah sama orang beruntung) itu idiom yang masih ada dan dipakai oleh sebagian orang untuk menilai keberhasilan seseorang. Kalau pinter dalam kontek prestasi akademik, yang berarti berkorelasi dengan level pendidikan seseorang yang dibandingkan dengan orang yang berkelimpahan materi sementara yang bersangkutan prestasi akademiknya biasa saja bahkan sempat tidak naik kelas/tingkat dan berujung drop out, maka labeling wong pinter kalah karo wong bejo boleh-boleh saja yang dijadikan tolok ukur. Fenomena tersebut sesungguhnya telah banyak dikupas oleh para motivator. Mayoritas mereka sepakat bahwa  kecerdasan yang bisa membuat orang menjadi sukses tidak hanya karena I ntelligence Q uotient (IQ) tinggi yang ujudnya diukur dengan prestasi akademik. Selain IQ, juga ada Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosi/sosial dan yang ketiga adalah Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spritual. Masing-masing dari ...

Produksi Dulu atau Pasar Dulu

        Kamis,   25 Agustus selepas shalat Magrib lanjut pengajian tafsir Quran rutin setiap malam Jumat yang dilanjutkan shalat Isya’ di masjid Al Hikmah jalan Damar tepat di samping SMP Muhammadiyah Cilacap, saya meluncur ke hotel Sindoro Cilacap menjumpai kawan lama teman seangkatan   waktu sekolah di SMPN I Cawas kab Klaten. Kedatangan kawan lama saya itu dalam rangka membantu atau asistensi koleganya dalam perancangan pendirian pabrik sampai dengan pengoperasiannya untuk mengolah bijih plastik menjadi produk peralatan penunjang yang salah satu pengaplikasian produknya di dermaga. Banyak hal yang dibahas/disikusikan dalam obrolan kurang lebih dua setengah jam (20.40 s.d. 23.15) dengan kawan lama saya itu. Pokoknya sangat lengkap tema yang dibahas, poleksosbudhankam. Koleganya pun turut datang bergabung ngobrol di lobby hotel sambil minum jus jambu, kalau saya cukup air putih, sudah malam soalnya. Ada yang menarik dari pernyataan kawan lama saya: “Prod...

Carica

  Selasa, 28 Mei 20 24 sepulang cuti, seperti biasa melakoni masuk kerja setelah semalaman (12 jam) menyusuri jalan dari terminal Banjarnegara dan turun di RS Hermina Sukabumi (masih 5 km menuju lokasi tinggal). Tidak kelupaan membawa buah tangan minuman khas kabupaten Banjarnegara, Carica. Saya tidak akan membahas Carica, sebab di- gooling pasti bertebaran yang membahasnya. Mungkin sedikit saja, Carica adalah buah se- family dengan buah Pepaya namun ukurannya secara umum lebih kecil. Ia bagus tumbuh di dataran tinggi, sehingga masyarakat di kecamatan Batur kabupaten Banjarnegara banyak yang membudidayakannya, disamping sayur-mayuran, termasuk komoditas Kentang. Usai Carica dibagikan anak-anak SMK yang sedang PKL, ada satu rekan kerja yang mendekat kemeja saja. Yang bersangkutan (R) menyampaikan: “Terima kasih, ya Pak”. “Sama-sama”, saut Saya (S). Ternyata tidak sampai di situ, rupanya yang bersangkutan ingin remembering atau bernostalgia. Berikut cuplikan singkatnya: R  ...